(Motivasi) KISAH TIGA ORANG TULI DAN GURU BISU
Pada suatu ketika, hiduplah seorang penggembala miskin. Setiap hari  ia menggiring domba-dombanya ke bukit mencari rumput segar. Dari sana ia  memandangi desa tempat ia tinggal bersama keluarganya. Ia tuli, tetapi  itu tak jadi masalah baginya. 
Suatu hari istrinya lupa mengirim bungkusan makan siangnya; juga  tidak menyuruh anak mereka untuk membawakannya. Sampai tengah hari  kiriman itu tidak datang juga. Si penggembala itu berpikir, “Aku akan  pulang dan mengambilnya. Aku tidak dapat berdiam di sini sepanjang hari  tanpa sepotong makanan.” Namun ia tidak dapat meninggalkan  domba-dombanya. Tiba-tiba ia memperhatikan seorang pemotong rumput di  tepi bukit. Ia menghampirinya dan berkata, “Saudaraku, tolong jaga  domba-dombaku ini dan awasi jangan sampai tersesat atau berkeliaran. Aku  akan kembali ke desa karena istriku begitu bodoh lupa mengirim makan  siangku.”
Ternyata pemotong rumput itu juga tuli. Ia tidak mendengar satu kata  pun yang diucapkan, dan sama sekali salah paham terhadap maksud si  penggembala.
Katanya, “Mengapa aku harus memberi rumput untuk ternakmu? Sedangkan  aku sendiri memiliki seekor sapi dan dua ekor kambing di rumah. Tidakkah  kau lihat, aku ini harus pergi jauh demi mencari rumput bagi  ternak-ternakku.
Tidak, tinggalkan aku. Aku tidak ada urusan dengan orang sepertimu  yang hanya ingin enaknya sendiri mengambil milikku yang cuma sedikit  ini.” Ia menggerakkan tangannya dan tertawa kasar.
Si penggembala tidak mendengar apa yang dikatakan oleh si pemotong  rumput.
Katanya, “Oh, terima kasih kawan, atas kebaikkan dan kesediaanmu. Aku  akan segera kembali. Semoga keselamatan dan berkah tercurah atas  dirimu. Engkau telah meringankan bebanku.” Ia segera berlari ke desa  menuju gubuknya yang sederhana. Di sana ia mendapati istrinya sakit  demam dan sedang dirawat oleh para istri tetangga.
Kemudian, si penggembala itu mengambil bungkus makanan dan berlari  kembali ke bukit. Ia menghitung domba-dombanya dengan cermat. Semuanya  masih lengkap seperti semula. Ia lalu melihat si pemotong rumput masih  sibuk memotong rumput segar. Si penggembala ini berkata pada dirinya  sendiri, “Ah, betapa luar biasa pribadi si pemotong rumput ini.  Benar-benar dapat dipercaya. Ia sudah menjaga domba-dombaku agar tidak  terpencar bahkan tidak mengharapkan terima kasih dariku. Aku akan  memberinya domba pincang ini. Sebenarnya domba pincang ini akan  kusembelih sendiri, namun biarlah aku berikan pada si pemotong rumput  itu agar bisa jadi makan malam yang lezat bagi keluargnya.
Ia pun memanggul domba pincang yang dimaksud di atas bahunya,  menuruni bukit dan berteriak pada si pemotong rumput, “Wahai saudaraku!,  ini hadiah dariku, karena engkau telah menjaga domba-dombaku selama aku  pergi. Istriku yang malang menderita demam, itulah mengapa ia tidak  mengirimkan aku makan siang.
Pangganglah domba ini untuk makan malammu nanti malam; lihat domba  ini kakinya pincang dan memang akan aku sembelih!”
Tetapi disisi lain, si pemotong rumput tidak mendengar kata-katanya  dan berteriak marah, “Penggembala busuk! Aku tidak tahu apapun yang  terjadi selama kau pergi. Jadi jangan salahkan aku atas kaki pincang  dombamu! Sedari tadi aku sibuk memotong rumput, dan tidak tahu mengapa  hal itu terjadi!
Pergilah, atau aku akan memukulmu!”
Si penggembala itu amat heran melihat sikap marah si pemotong rumput,  tetapi ia tidak dapat mendengarkan apa yang dikatakannya. Tiba-tiba ada  seorang melintas di antara mereka dengan menunggang seekor kuda yang  bagus. Si penggembala menghentikan si penunggang kuda itu dan berkata,  “Tuan penunggang kuda yang mulia, aku mohon katakan padaku apa yang  diucapkan oleh pemotong rumput itu. Aku ini tuli, dan tidak tahu mengapa  ia menolak pemberianku berupa seekor domba ini, malah marah-marah  seperti itu.”
Si penggembala dan si pemotong rumput mulai saling berteriak pada si  penunggang kuda untuk menjelaskan kemauannya masing-masing. Si  penunggang kuda itu turun dan menghampiri mereka. Ternyata penunggang  kuda itu pun sama tulinya. Ia tidak mendengar apa-apa yang kedua orang  itu katakan. Justru, ia ini sedang tersesat dan hendak bertanya dimana  dirinya saat ini. Tetapi ketika melihat sikap keras dan mengancam dari  ke dua orang itu, akhirnya ia berkata, “Benar, benar, saudara. Aku telah  mencuri kuda ini. Aku mengakui, tetapi aku tidak tahu kalau itu milik  kalian. Maafkan aku, karena aku tidak dapat menahan diriku dan bertindak  mencuri.”
“Aku tidak tahu apa-apa tentang pincangnya domba ini!” teriak  pemotong rumput.
“Suruh ia mengatakan padaku mengapa pemotong rumput itu menolak  pemberianku, ” desak si penggembala, “aku hanya ingin memberikannya  sebagai penghargaan tanda terima kasihku.”
“Aku mengaku mengambil kuda. Aku akan kembalikan kuda ini. “kata  penunggang kuda,” tapi aku tuli, dan tidak tahu siapa di antara kalian  pemilik sesungguhnya kuda ini.”
Pada saat itu, dari kejauhan, tampak seorang guru tua berjalan. Si  pemotong rumput lari menghampirinya, menarik jubah lusuhnya dan berkata,  “Guru yang mulia, aku seorang tuli yang tidak mengerti ujung pangkal  apa yang dibicarakan oleh kedua orang ini. Aku mohon kebijaksanaan anda,  adili dan jelaskan apa yang mereka teriakkan.”
Namun, si Guru tua ini bisu dan tidak dapat menjawab, tapi ia  mendatangi mereka dan memandangi ketiga orang tuli tersebut dengan penuh  selidik.
Sekarang ketiga orang tuli itu menghentikan teriakan mereka. Guru itu  memandangi sedemikian lama dan dengan tajam, satu per satu hingga  ketiga orang itu merasa tidak enak. Matanya yang hitam berkilauan  menusuk ke dalam mata mereka, mencari kebenaran tentang persoalan  tersebut, mencoba mendapatkan petunjuk dari situasi itu.
Tetapi ketiga orang tuli itu mulai merasa takut kalau-kalau guru tua  itu menyihir mereka atau mengendalikan kemauan mereka. Tiba-tiba si  pencuri kuda meloncat ke atas kuda dan memacunya kencang-kencang. Begitu  juga si penggembala, segera mengumpulkan ternaknya dan menggiringnya  jauh ke atas bukit. Si pemotong rumput tidak berani menatap mata guru  tua itu, lalu ia mengemasi rumputnya ke dalam kantong dan mengangkatnya  ke atas bahu dan berjalan menuruni bukit pulang ke rumahnya.
Guru tua itu melanjutkan perjalanannya, berpikir sendiri bahwa  kata-kata merupakan bentuk komunikasi yang tidak berguna, bahwa orang  mungkin lebih baik tidak pernah mengucapkannya!
source : http://www.emotivasi.com/2008/08/08/kisah-tiga-orang-tuli-dan-guru-bisu/ 








-My Link
Terima kasih telah mengunjungi windeartfly.co.cc Silakan tinggalkan komentar jika anda berkenan
Berkomentarlah dengan baik dan sopan demi kenyamanan bersama.